Nasionalisme dalam Naskah Drama “Bapak” Karya B. Soelarto


Nasionalisme dalam Naskah Drama “Bapak” Karya B. Soelarto
Oleh: Nur Hidayah

ABSTRAK
Di Indonesia, negara-negara berkembang pada umumnya nasionalisme merupakan masalah penting. Pendidikan, pengajaran, dan pembangunan, perkembangan masyarakat dalam berbagai bentuknya, baik secara fisik maupun mental, selalu dikaitkan dengan masalah kebangsaan. Nasionalisme dianggap sebagai satu-satunya alat untuk mempersatukan bangsa. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang meliputi luas wilayah dari Sabang hingga Meraoke, dari Pulau Miangas hingga pulau Rote semata-mata didasarkan atas  kesadaran bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya, nasionalisme juga berpengaruh terhadap konflik antargolongan dan berbagai kepentingan persoalan lainnya. Dalam dunia kesusastraan, nasionalisme dapat ditemukan di beberapa karya sastrawan Indonesia. Salah satunya adalah B. Soelarto yang dengan berani menciptakan tulisan-tulisan yang berisi tentang protes dan ejekan yang hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. 

Naskah drama B. Soelarto yang berjudul “Bapak” merupakan manifestasi kebudayaan, di mana dalam naskah drama tersebut berisi tentang nilai nasionalisme yang tinggi dimiliki oleh tokoh Bapak. Naskah drama “Bapak” merupakan salah satu karya terbaik yang ditulis oleh B. Soelarto serta pertama kali disiarkan majalah sastra dan kebudayaan GELANGGANG pada tahun 1967 yang bertepatan dengan kondisi bangsa Indonesia mengalami berbagai polemik kebangsaan.
Kata kunci: Nasionalisme, Kesusastraan, Politik, dan “Bapak”.

PENDAHULUAN

Karya sastra bukan semata-mata dinilai atas dasar ciri-ciri imajinatif kreativitas, tetapi juga bagaimana wacana dioperasikan, dalam kerangka imajinasi dan aktivitas kreatif itu sendiri sehingga menghasilkan pemahaman alternatif yang dapat memperjelas hakikat kenyataan yang ada dalam masyarakat. Pada gilirannya, karya sastra bukanlah wakil subjek kreator secara individual, melainkan subjek kolektif, subjek transidividual. Karya sastra bukan semata-mata rekaan, tetapi kenyataan yang dilukiskan melalui ciri-ciri rekaan. Karya sastra bercerita tentang manusia dalam masyarakat, sama seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sebagainya. Dalam karya sastra yang berbicara adalah para narator, representasi anggota masyarkat sesuai dengan status dan perananya masing-masing terlepas dari siapa pengarangnya, apakah orang Barat atau pribumi. Melalui juru bicara tersebutlah berbagai pesan disampaikan, dengan sendirinya melalui cara-cara implisit dan ambigu sehingga para pembaca dapat menerimanya secara suka rela. Sebagai hasil suatu penelitian, baik atas dasar objek karya sastra maupun ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang lain, hasilnya sama-sama bersifat objektif sebab diperoleh melalui kemampuan metode dan teori. Dan yang terpenting dalam karya sastralah, bahasa sebagai wacana, dieksploitasi sedemikian rupa sehingga semua maksud tersembunyi dapat dibongkar. 

            Di Indonesia sastrawan-sastrawan Indonesia sejak awal pertumbuhannya menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Beberapa karya sastrawan Indonesia sebenarnya merupakan reaksi dari apa yang saat itu sedang terjadi dan diperdebatkan, dan melalui hasil karya sastra tersebut, sastrawan-sastrawan Indonesia memberontak akibat dari polemik yang sedang terjadi pada saat itu. Tahun 1945-an, dunia kesusastraan Indonesia mendapatkan karya-karya besar yang sangat berpengaruh, sastrawan tersebut seperti Chairil Anwar dengan karyanya yang berjudul  Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Achdiat Kartamihardja dengan karyanya yang berjudul Atheis, Mochtar Lubis dengan karyanya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung, Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya yang berjudul Keluarga Gerilya, dan lain sebagainya.

            Pada tahun 1960-an, tepatnya 17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain. Manifes kebudayaan tersebut menyatakan pendirian, cita-cita, dan politik kebudayaan nasional. Salah satu sastrawan yang menarik minat penulis pada saat itu adalah B. Soelarto. B. Soelarto hadir dengan hasil karyanya yang sebagian besar memuat kritikan-kritikan sosial maupun politik yang ada di Indonesia, seperti narasi terbesarnya dalam naskah drama Domba-Domba Revolusi. Namun, dalam artikel ini penulis tidak membahas tentang naskah drama Domba-Domba Revolusi melaikan akan membahas tentang Nasionalisme dalam Naskah Drama “Bapak”. Naskah drama “Bapak” juga merupakan narasi besar yang sangat berpengaruh dalam polemik kebangsaan di tanah air, Indonesia.

Untuk membatasi pembahasan dalam artikel ini, penulis akan membahas beberapa hal sebagai berikut: Deskripsi tentang Naskah Drama “Bapak”, Ideologi Para Tokoh dalam Naskah Drama “Bapak”, Nasionalisme Kaitannya dengan Kolonialisme, Representasi Bentuk-Bentuk Nasionalisme dalam Naskah Drama “Bapak”, dan Makna yang Terkandung dalam Naskah Drama “Bapak”.

Deskripsi tentang Naskah Drama “Bapak”

Naskah drama “Bapak” merupakan satu dari lima naskah drama B. Soelarto yang merupakan sebuah kumpulan yang diberi judul “Lima Drama” yang diterbitkan oleh penerbit PT GUNUNG AGUNG — Jakarta 1985. Naskah drama “Bapak” merupakan lakon dua babak dan terdiri atas 13 halaman (di luar sampul), naskah drama ini tidak beda jauh dengan naskah-naskah drama yang sudah ditulis oleh B. Soelarto sebelumnya. Dalam naskah drama “Bapak” terdapat tema mayor dan tema minor.  Tema mayor drama ini adalah seorang patriot tentu memperjuangkan kemerdekaan bangsanya walaupun harus mengorbankan segalanya. Dan tema minor drama ini ialah seorang anak yang tidak mau membantu ayahnya memperjuangkan bangsa lantaran pemikiran yang berbeda. Terdiri dari empat tokoh yaitu, tokoh Bapak, si Sulung, si Bungsu, dan perwira. 

Ideologi Para Tokoh dalam Naskah Drama “Bapak”

            Ideologi merupakan sebuah pandangan atau cita-cita, tujuan, yang dimiliki oleh setiap masing-masing individu. Ideologi yang dimiliki oleh masing-masing individu akan mempengaruhi cara berpikir, tindakannnya dalam memahami segala persoalan. Tak terlepas pula dengan para tokoh yang ada dalam naskah drama “Bapak”, di mana para tokohnya memiliki ideologi yang menentukan pola pikir dan segala tindakan yang harus diambil. Dan berikut uraian ideologi para tokoh dalam naskah drama “Bapak”.

1. Bapak, usia 51 tahun, merupakan tokoh sentral dalam naskah drama ini, berperan sebagai protagonis, tidak memaksakan kehendaknya, tegas, memiliki prinsip yang kuat, berjiwa patriot, bertanggung jawab, termasuk flat character (karena tidak mengalami perubahan nasib hingga akhir kisah). Bapak memiliki ideologi yang berlawanan dengan sang anak, yaitu si Sulung. Di mana tokoh Bapak diceritakan sebagai seseorang yang berjiwa patriot dan menjunjung tinggi kemerdekaan bumi pusaka, walaupun pada akhirnya tokoh Bapak harus membunuh anaknya sendiri, dia tetap teguh dengan prinsipnya.
Bapak: Nak, setiap patriot pada hakikatnya adalah politikus jua. Kendati tidak harus berarti menjadi seorag diplomat, seorang negarawan. Dan, justru karena kesadaran dan pengertian politiknya itulah, seseorang patriot akan senantiasa membangkang terhadap tiap politik penjajahan. [ .... ]
Tidak anakku! Kemerdekaan tidak ditentukan oleh semua itu. Kemerdekaan adalah soal harga-diri kebangsan, soal kehormatan kebangsaan. [ ... ]
(hal. 106-107)

            Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang terdapat dalam naskah drama “Bapak” yang menunjukkan tokoh si Bapak memberikan penjelasan terkait dengan pemikirannya. 

2. Si Sulung, usia 28 tahun, merupakan tokoh antagonis karena menjadi lawan Bapak dalam cerita ini. Sulung mengalami perubahan nasib, yaitu dia mati dibunuh Bapak. Karena itu, dia disebut juga sebagai round character. Pengkhianat, keras kepala, memiliki prinsip yang kuat. Tokoh Sulung, lebih memihak sekutu untuk kepentingan keselamatannya pribadi daripada harus berjuang demi kemerdekaan bumi pusaka. 

Sulung: Menyesal ya, bapak. Rupanya kita berbeda kutub dalam tafsir makna ... (hal. 107)  

Sulung: Ah, bapak terpanggang oleh api sentimen patriotisme. Ya-ya aku memang dapat mengerti, lantaran dulu bapak pernah jadi buronan pemerintah Hindia-Belanda. [ ... ] (hal. 108)

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang terdapat dalam naskah drama “Bapak” yang menunjukkan tokoh si Sulung memberikan tanggapan terhadap pemikiran tokoh Bapak.

3. Si Bungsu, usia 24 tahun, sabar, ramah, baik hati, pengertian, merupakan flat character karena tidak mengalami perubahan nasib sampai akhir cerita, juga merupakan tokoh pendukung dalam naskah drama ini. Tokoh si Bungsu merupakan tokoh yang mendukung pemikiran si Bapak dalam menolak usulan si Sulung. Namun, dia harus mengalami emosional ketika sang kakak harus dibunuh karena pegkhianatannya terhadap negara.

Bungsu: Jawaban bapak sangat bijaksana. (hal. 105)

Bungsu: Selamatlah ya, bapak. (hal. 116)

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang terdapat dalam naskah drama “Bapak” yang menunjukkan tokoh si Busung memberikan tanggapan atas keputusan tokoh Bapak.

4. Perwira, usia 26 tahun, baik, tegas, sabar, bertanggung jawab, merupakan flat character karena tidak mengalami perubahan nasib sampai akhir cerita, juga merupakan tokoh pendukung dalam naskah drama ini. Tokoh perwira digambarkan dengan karakter taat terhadap tugas yang diberikan terhadapnya.

Bungsu: Ah, dia selalu sibuk dengan urusan kemiliteran melulu. Bahkan ketika kami mendatangi asramanya, ia tak ada. Kata mereka, ia sedang rapat dinas. Seolah-olah seluruh hidupnya tersita untuk urusan-urusan militer saja. (hal. 104)

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang terdapat dalam naskah drama “Bapak” yang menunjukkan tokoh Perwira berdedikasi tinggi dan totalitas dalam menjalankan tugas kemiliterannya.

Nasionalisme Kaitannya dengan Kolonialisme

            Sebagai salah satu aspek kebudayaan, karya sastra memberikan sesuatu yang lain terhadap kehidupan manusia, terhadap perasaan. Secara umum, karya sastra berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan. Karya sastra mengevoksi emosi, membangkitkan energi-energi yang stagnasi, baik sebagai aibat pengaruh luar, seperti sosial, politik, dan ekonomi, maupun dari dalam sebagai akibat terganggunya mekanisme psikologis itu sendiri. Dalam karya sastra bukan kolonialisme sebagaimana dipahami dalam sejarah umum, melainkan apa yang dibuat oleh kolonialisme.  

            Secara historis kolonialisme di Indonesia, sekaligus dengan hegemoni politik dan ekonomi berserta sistem eksploitasinya telah terjadi sejak awal abad ke-17, dengan didirikannya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Serikat dagang Belanda yang bertujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara tersebut lebih dikenal dengan nama Kompeni. Hegemoni politik dan sistem eksploitasi membawa perubahan dalam berbagai bidang, seperti: sistem birokrasi, industrialisasi, trasnportasi, edukasi, komunikasi, dan berbagai bentuk hubungan sosial lainnya. Perubahan inilah yang pada gilirannya membawa dampak psikologis berupa kesadaran berbangsa dan bertanah air, yaitu nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme merupakan akibat langsung kolonialisme. Dengan kalimat lain, kolonialismelah yang dianggap sebagai faktor utama bangkitnya nasionalisme. Di samping itu terjadi hubungan secara terus-menerus antara ciri-ciri politik kolonial dengan bangkitnya nasionalisme itu sendiri. Artinya, intensitas perlawanan bangsa Indnesia tergantun dari kualitas reprensif pemerintahan kolonial. Tahun 1945-1949 sebagai fase konsolidasi nasionalisme untuk masa depan bangsa.

Dalam naskah drama “Bapak” bentuk kolonialisme yang terjadi adalah adanya peristiwa Agresi Militer II Belanda yang merupakan polemik kebangsaan pada saat itu.  Belanda melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Republik Indonesia melalui tiga penjuru yaitu Tuban, selatan Blitar dan Yogya dengan sasaran utama menguasai Ibu Kota Negara, Yogyakarta. Belanda yang menggunakan taktik perang kilat, mengawali serangannya untuk menguasai Ibu kota dengan menerjunkan pasukan payung guna menguasai Pangkalan Udara Maguwo (Adisucipto) beserta melakukan pengebomam di beberapa tempat di Yogyakarta. Akhirnya dalam beberapa jam saja, militer Belanda yang unggul dalam persenjataan berhasil menduduki Yogyakarta. Peristiwa Agresi Militer II Belanda, dapat merugikan bangsa Indonesia itu sendiri. Bentuk-bentuk kolonialisme lainnya yang terdapat dalam naskah drama ini, yaitu pribumi dijadikan sebagai bawahanya atau pesuruh, seperti halnya si Sulung. Sedangkan tokoh Bapak, Bungsu, dan Perwira merepresentasikan orang-orang yang memiliki jiwa nasionalisme. 

Drama ini terjadi pada tanggal 19 Januari 1949, sebulan sesudah tentara Kolonial Belada melancaran aksi-agresinya yang kedua dengan merebut ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Tentara kolonial telah pula siap-siaga untuk melancarkan serangan kilat hendak merebut sebuah kota strategis yang hanya dipertahankan oleh satu batalyon Tentara Nasional Indonesia. 
(hal. 103)

Narasi di atas merupakan narasi yang terdapat dalam naskah drama “Bapak” yang menjelaskan tentang bentuk kolonialisme yang terjadi yang berupa peristiwa Agresi Militer II Belanda.

Bapak: Lihat-lihat! Dia dalam seragam tentara Kolonial, dengan pangkat Letnan! Lengkap denga bintang-bintang jasa khianatnya menghiasi dada. 

Bapak: Bawa! Di dalamnya, penuh dokumen rahasia-rahasia militer. Mungkin sekali juga, kunci-sandi dinas-rahasia tentara Kolonial. Sebab dia ternyata opsir dalam Dinas Rahasia Tentara Kerajaan.
(hal. 113) 

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang terdapat dalam naskah drama “Bapak” yang menunjukkan tokoh Sulung dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk mendapatkan data-data rahasia guna untuk kepentingan dalam melaksanakan bentuk kolonialisme. 

Representasi Bentuk-Bentuk Nasionalisme dalam Naskah Drama “Bapak”

            Representasi diartikan sebagai citra, gambaran, dan lukisan. Secara tradisional representasi diartikan sebagai kemiripan dan imitasi, dibedakan menjadi dua macam, yaitu representasi sebagai memiliki citra aktual dan citra mental. Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer lain, yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok, seperti: pesan, tema, dan pandangan dunia. Dalam naskah drama “Bapak” ditemukan beberapa hal yang menunjukkan representasi dari bentuk-bentuk nasionalisme, yaitu sebagai berikut.

Bungsu: Ah, dia selalu sibuk dengan urusan kemiliteran melulu. Bahkan ketika kami mendatangi asramanya, ia tak ada. Kata mereka, ia sedang rapat dinas. Seolah-olah seluruh hidupnya tersita untuk urusan-urusan militer saja. (hal. 104)

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang terdapat dalam naskah drama “Bapak” yang menunjukkan bentuk nasionalisme seorang Perwira yang menjalankan tugas negara dengan dedikasi dan totalitas penuh demi kemerdekaan bumi pusaka, Indonesia.

Bapak: Nak, setiap patriot pada hakikatnya adalah politikus jua. Kendati tidak harus berarti menjadi seorag diplomat, seorang negarawan. Dan, justru karena kesadaran dan pengertian politiknya itulah, seseorang patriot akan senantiasa membangkang terhadap tiap politik penjajahan. [ .... ]

Tidak anakku! Kemerdekaan tidak ditentukan oleh semua itu. Kemerdekaan adalah soal harga-diri kebangsaan, soal kehormatan kebangsaan. [ ... ]
(hal. 106-107)

            Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang menunjukkan bentuk nasionalisme, di mana tokoh Bapak membela harga diri bangsa demi kemerdekaan bumi pusaka, Indonesia. Tokoh Bapak tidak ingin Indonesia dipandang sebelah mata oleh orang lain, meskipun itu anaknya sendiri.

Bapak: Nak, apa pun yang terjadi aku akan tetap bertahan di sini. Dan bila mereka melanda kota ini, insya Allah aku pun akan ikut angkat senjata. Bukan karena rumah dan tanah-waris. Tapi karena kemerdekaan bumi-pusaka. Ya, mungkin sekali pembelaanku akan kurang berarti. [ ... ] (hal. 107-108)

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang menunjukkan bentuk nasionalisme, di mana tokoh Bapak akan ikut angkat senjata (perang) melawan pihak sekutu untuk mempertahankan kemerdekaan bumi pusaka, Indonesia.

Bapak: [ ... ] Ya, karena cintaku itulah, aku tidak rela ia meneruskan langkah sesatnya. Langkah khianatnya, harus ya, wajib dihentikan. Meskipun dengan jalan membunuhnya. Tapi dengan kematiannya, aku telah menyelamatkan jiwanya dari kesesatan hanya sampai sekian. Dengan kematiannya, berakhirlah pula kerja nistanya sebagai pengkhianat.[ ... ]

Bila, ia pengkhianat, matilah ia di tanganku pribadi. Dan celakalah ia, karena ia telah memilih kematian yang paling aib. Mati dalam khianat.
(hal. 114)

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang menunjukkan bentuk nasionalisme, di mana tokoh Bapak walaupun harus mengorbankan sang anak yang merupakan antek-antek Belanda, dia rela membunuhnya demi kepentigan bangsa dan tanah air.

Bapak: Tidak! Aku tidak akan pergi. Aku akan tetap di sini. Mereka pasti akan segera kemari. Mereka akan menjumpai jenazah abangmu. Dan, aku akan bikin perhitungan dengan mereka. Pistol ini akan memadailah untuk itu. (hal. 115)

Penggalan dialog di atas merupakan bukti yang menunjukkan bentuk nasionalisme, di mana tokoh Bapak tetap teguh dan tak gentir untuk melawan dan menghadapi sekutu, walaupun kematian akan menghampirinya, itu semua karena kemerdekaan bumi pusaka, Indonesia. 

Secara keseluruhan, representasi bentuk-bentuk nasionalisme sangat melekat pada cara berpikir tokoh Bapak, tidak hanya dalam cara berpikirnya saja, namun tindakan tokoh Bapak yang diambil dalam mempertahankan harga diri bangsa, karena harga diri bangsa merupakan harga mati yang harus terus diperjuangkan. Sosok Bapak merupakan patriot yang bijak. 

Makna yang Terkandung dalam Naskah Drama “Bapak”

            Untuk mendapatkan makna dalam sebuah karya sastra perlu dilakukan proses pembacaan yang benar-benar serius dan berulang kali. Karena makna dapat ditemukan ketika proses pembacaan itu sendiri telah dilakukan. Pemaknaan dalam sebuah karya sastra dari satu individu dengan individu yang lain tidak akan sama. Karya sastra itu sendiri pun memang memiliki multitafsir. Makna dalam karya sastra dibagi menjadi dua, yaitu makna langsung dan makna tidak langsung. Makna langsung adalah makna yang tertera dalam teks, sedangkan makna tidak langsung adalah makna yang berupa simbol-simbol atau kiasan-kiasan yang kecenderungan memiliki multitafsir.

            Dalam naskah drama “Bapak”, makna yang terdapat berupa makna langsung, di mana sastrawan B. Soelarto dengan jelas memarkan tentang kolonialisme dan nasionalisme di dalam dialog-dialog yang terjadi di dalam naskah drama tersebut. Dan, dijelaskan dalam teks bahwa sejarah membuktikan bahwa sejak kaum penjajah menjangkahi bumi-pusaka, Indonesia. Merekalah yang menciptakan segala sengketa berdarah antara sesama bangsa Indonesia. Politik penjajahan merekalah yang menghasilkan duka cerita di tanah air. Kaum penjajah yang menjadi biangkeladi dan yang bertanggung jawab atas segala duka cerita bangsa-bangsa yang terjajah.
Juga, dalam teks tersebut, makna yang secara jelas diungkapkan adalah nilai nasionalisme yang dapat diambil oleh para pembaca. Nilai-nilai nasionalisme dapat dilihat dari pemikiran tokoh Bapak dan tindakan yang diambil oleh tokoh Bapak, serta Perwira yang berdedikasi tinggi terhadap tugas negara. 

SIMPULAN

            Masalah tentang kebangsaan merupakan hal yang sangat penting dan vital dalam bernegara. Pasalnya, bangsa merupakan faktor pendukung utama dalam ketahanan nasional. Paradoks-paradoks tentang kebangsaan pun sering kali menjadi perbincangan hangat dari masa ke masa. Seperti halnya dalam naskah drama “Bapak”. Masalah-masalah tentang kebangsaan ditunjukkan dalam penokohan para tokohnya. Di mana tokoh Bapak yang berjiwa patriot harus berbeda kutub pemikiran dengan anaknya, yaitu tokoh Sulung. Sulung sendiri dijelaskan sebagai tokoh yang hanya mementingkan kepentingannya dia sendiri, walaupun harus mengorbankan harga diri tanah air, Indonesia. 

DAFTAR PUSTAKA
Soelarto. B, 1985. Lima Drama. Jakarta: Gunung Agung.
Ratna, Nyoman kutha, 2008. POSTKOLONIALISME INDONESIA Relevansi Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[diakses pada tanggal 29 Juni 2017: 21.54]
[diakses pada tanggal 29 Juni 2017:21.56]
[diakses pada tanggal 30 Juni 2017: 11.18]
[diakses pada tanggal 30 Juni 2017: 11.22]




Komentar